POJOKREDAKSI.COM
Ketika masih kecil, ketika secara tidak sengaja terbangun dari tidur, saya sering melihat Ibuku masih sibuk dengan kegiatannya menganyam tikar. Padahal malam sudah larut.
Kalau ditanya kenapa Ibu belum tidur, sementara paginya harus cepat-cepat bangun? Jawabnya “Iya ga tau nih. Matanya ga ngantuk2 terus. Jadi cari kegiatan dulu supaya bisa ngantuk”
Jawaban belum ngantuk itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Karena belakangan saya ketahui, kegiatan anyam menganyam tikar tersebut dilakukan untuk menambah pemasukan supaya bisa membayar uang sekolah kami anak-anaknya. Karena setelah selesai dianyam tikarnya akan segera dijual kembali untuk mendapatkan uang.
Mengenai masalah uang sekolah ini, memang pernah saya cerita ke Ibu dan Ayah saya bahwa saya di bentak sama pengurus sekolah, karena pas ditanyai mengenai pembayarannya, saya menyampaikan seperti apa yang dipesankan oleh Ayah bahwa Ayah sendiri nanti yang akan datang ke sekolah utk menyelesaikannya, sekaligus menyelesaikan tunggakan-tunggakan yang ada, tapi pengurus sekolahnya dengan nada membentak mengatakan: “Emang Ayahmu siapa?”
Saya kurang mengerti waktu itu arah pertanyaannya bagaimana, yang jelas saya hanya bisa menunduk malu, terutama setelah menyaksikan semua mata teman sekelas yang ada memandang ke arah saya.
Saya perhatikan semenjak itulah, Ibu saya semakin intensif mengebut anyamannya supaya cepat selesai dan bisa langsung dijual untuk mendapatkan uang. Selesai yang satu dilanjutin lagi dengan yang lain, demikian seterusnya hingga berlangsung lama, setiap malam ditemani dinginnya malam yang menusuk tulang. Mana cahaya yang ada hanya tenaga lampu telong (lampu yang terbuat dari botol bekas yang diisi minyak tanah sementara sumbunya terbuat dari bahan kaos bekas yang juga di bentuk sedemikian rupa supaya bisa berfungsi sebagai sumbu).
Sebenarnya pas ada tekanan di sekolah itu, sempat terlanjur omongan saya, kalau memang sudah sulit untuk bayaran uang sekolah, mungkin ada baiknya lebih baik berhenti saja sekolahnya.
Mendengar ada ucapan seperti itu, beliau langsung memperlihatkan mimik yang tidak suka, tapi seraya memberi jawaban yang meyakinkan bahwa semua akan segera teratasi, beliau memelukku dengan erat. Dan dari kerongkongan yang sepertinya agak tersumbat, dan air mata yang tak tertahankan beliau masih sempat memberikan kata-kata dorongan dan semangat.
Dan oleh karena itu pulalah mungkin beliau selalu begadang sampai larut malam mengerjakan anyaman tikarnya supaya lebih banyak yang bisa diselesaikan untuk dijual di pasar ketika pas hari pekan tiba yang adanya memang hanya sekali seminggu.
Mengorbankan waktu tidurnya yang biasanya saja sudah sangat terbatas semakin bertambah terbatas lagi dengan adanya kegiatan anyam menganyam ini, karena pagi-paginya harus bangun lagi untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang terkait dengan urusan memberangkatkan kami anak-anaknya ke sekolah.
***
Masih ketika waktu kecil.
Kalau pas lagi ada makanan enak, saya sering melihat beliau sendiri tidak pernah kebagian apa-apa. Jadinya beliau hanya bisa menelan air liur. Karena semuanya langsung dibagi-bagikan ke kami anak-anaknya, dan membiarkan dirinya sendiri tidak kebagian apa-apa. Lebih senang memperhatikan kami anak-anaknya satu persatu menikmati makanan enak tersebut.
Seperti pernah ada contoh. Ketika itu pernah kebagian sop daging panas kiriman tetangga yang mungkin lagi sedang dapat rejeki. Dari aromanya saja sudah pasti membuat air liur bereaksi. Tapi karena demi lebih mengutamakan kami anak-anaknya, beliau rela untuk tidak kebagian sedikitpun. Meskipun jarang – jarang bisa ketemu makanan yang seperti itu. Tapi sekali lagi demi lebih mengutamakan kami anak-anaknya supaya bisa memperoleh asupan gizi yang cukup, dia mampu mengendalikan reaksi air liur yang tak tertahankan, juga rasa perih perut yang menyayat, yang selalu nyaris kosong tersebut.
Pernah pada suatu kesempatan. Entah kenapa hati saya seolah terdorong untuk menanyakan: ”Ibu kok jadi tidak kebagian?” Beliau hanya menjawab “tidak apa-apa nak. Ibu masih kenyang. Tadi terlanjur makan ubi banyak” Padahal belakangan saya ketahui, karena beliau lebih mengutamakan anak-anaknya, supaya ada asupan gizi yang lebih baik untuk kami anak-anaknya, ditengah hari-hari yang asupan gizinya yang sangat minim.
Kalau untuk yang keseharian memang tidak perlu ditanya lagi. Seperti contohnya ikan asin yang nyaris menjadi menu lauk sehari-hari kami sekeluarga. Yang itupun lebih sering dibakar daripada digoreng, karena keterbatasan dana untuk membeli minyak goreng. Beliau pasti akan mengutamakan yang bagian dagingnya untuk kami anak-anaknya, sementara untuk beliau sendiri hanya bagian kepalanya, yang supaya bisa lebih lunak untuk dikunyah, kepala ikan asin tersebut harus ditumbuk dan dihaluskan terlebih dahulu.
Ketika pernah dicoba menanyakan kenapa hanya ngambil yang bagian kepalanya, beliau akan selalu bilang bahwa beliau lebih senang bagian kepala yang akan diolah lagi. Bosan kalau yang seperti biasa. Padahal yang sebenarnya adalah demi penghematan. Demi memastikan untuk hari-hari esok yang masih panjang lagi, tetap masih tersedia untuk kami anak-anaknya.
***
Kalau dua kisah yang tadi terkait dengan hal yang mengorbankan waktu istirahatnya demi memikirkan masa depan kami anak-anaknyanya, sama mengorbankan asupan gizi untuk dirinya sendiri demi mengutamakan kami anak-anaknya, untuk kisah berikut ini terkait dengan masalah keselamatan dirinya.
Sering terjadi. Kalau sedang hujan lebat, selebat apapun hujannya, bahkan ditambah petir yang mengglegar sahut menyahut, diperparah lagi oleh kilat yang menyambar kesana kemari, akan tetapi di tengah kondisi yang serba mengkhawatirkan itu, tak akan menyurutkan niat beliau untuk tetap pergi ke kebun, ke sawah atau ladangnya. Seolah menganggap semuanya itu biasa-biasa saja. Paling-paling beliau hanya butuh pelindung tubuh yang biasanya terbuat dari bahan plastik transparan supaya air hujannya tidak langsung menerpa terlalu keras ke tubuhnya. Sebab kalau dibilang untuk mencegah basah tetap basah juga. Dan seperti biasa, yang seolah sedang tidak terjadi apa-apa itu, beliau akan melaksanakan pekerjaan rutinitasnya di kebun, di sawah atau ladangnya. Entah bagaimana beliau melakoninya ditengah kondisi yang sangat mengkihawatirkan dan menyeramkan itu.
“Kalau tidak ke kebun, besok kita makan apa nak?”
“Hujan seperti ini pasti awet. Dan besok juga masih akan seperti ini. Karena memang lagi sedang musim penghujan.”
Akan seperti itu jawabnya kalau dicoba menanyakan kenapa dalam kondisi seperti ini tetap harus pergi. Tak sedikitpun ada kekhawatiran mengenai keselamatan jiwanya. Dan sewaktu mau pergi takkan lupa berupaya menyemangati hati kami terlebih dahulu supaya mau ditinggal di rumah, ditengah bunyi deru hujan lebat dan petir, yang kami anak-anak kecilnya lebih menginginkan sang Ibu ada di sisi.
***
Sudah semenjak lima belas tahun yang lalu beliau pergi, menyusul sang Ayah yang telah duluan tiada, namun kenangan bersamanya tidak akan pernah lekang dari hati, dan akan senantiasa tersimpan jauh di lubuk hati yang paling dalam.
Beliau pergi meninggalkan kami, selagi kami anak-anaknya belum bisa memberikan yang terbaik untuk beliau, bahkan saya sendiri tidak bisa mandampinginya disaat-saat krusial, saat-saat sang ajal mau menjemputnya. Padahal khabarnya, ditengah ketidakmampuannya lagi untuk mengeluarkan suara dari mulutnya untuk manggil-manggil saya, beliau masih berupaya menggerak-gerakkan tangannya seolah memanggil saya dari kejauhan untuk datang mendekat, yang akhirnya harus jatuh terhempas tanpa hasil, seiring dengan hembusan nafasnya yang terakhir.
***
Maafkan aku Bu. Anakmu yang dulu sering kau peluk erat, seraya menyebut anak kesayangan dan kebanggaanmu, namun belum sempat membalas segala pengorbanan dan perjuanganmu, pun hanya untuk sekedar mendampingi disaat Engkau sangat menginginkannya ketika akan menghembuskan nafasmu yang terakhir itu.
Maka itu kutulis kisah ini, bukti bahwa aku tidak pernah melupakanmu. Tak akan pernah.
Dan pada Hari Ibu yang berbahagia ini, saya mengucapkan Selamat Hari Ibu bagimu ibuku yang tercinta, dan juga bagi semua ibu yang telah tiada.
(Pulo Siregar)