Malang, Pojokredaksi.com – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj moyoroti dan menegaskan sikapnya untuk menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.
Ia menilai, regulasi yang telah disahkan pemerintah bersama DPR tersebut banyak merugikan masyarakat. Tidak hanya aturan terkait buruh, pihaknya juga menyoalkan i sejumlah klausul di dalam sektor pendidikan, ketahanan pangan, dan minerba dalam regulasi tersebut yang dapat menyengsarakan.
“Bukan hanya soal buruh, bukan hanya berkaitan dengan Ibu Ida (Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah), bukan. Tapi juga pendidikan, minerba, dan ketahanan pangan,” kata Said Aqil saat hadir secara daring pada Peringatan Hari Santri Nasional 2020 di Pondok Pesantren Sabilurrasyad, Gasek, Kota Malang, Kamis, 22/10.
Pada sektor pendidikan, Said jelaskan lembaga pendidikan termasuk di dalamnya pondok pesantren awalnya diatur harus berbadan hukum dan dianggap sebagai badan usaha. Ia menilai hal itu tidak tepat karena justru dapat mengkapitalisasi lembaga pendidikan itu sendiri.
“Coba sebelum kita kritisi, klaster pendidikan ada ayat yang mengatakan bahwa semua lembaga pendidikan termasuk pesantren, dianggap sebagai badan usaha. Nanti ada pajaknya, ada auditnya dianggap profit pesantren itu. Itu sebelum kita kritisi, sekarang alhamdulillah sudah hilang,” katanya.
Pada sektor minerba, dalam regulasi itu juga, menurut ia terlalu memberikan keleluasaan para pengusaha untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Pasalnya, perpanjangan perizinan dapat dilakukan secara terus menerus tanpa adanya batas waktu.
“Kalau di undang-undang yang dulu selama dua kali perpanjang. Sekarang batasan dua kali sudah tidak ada. Artinya penambang itu seumur hidup asal diperpanjang setiap 10 tahun,” jelasnya.
Belum lagi masalah ketahanan pangan, dalam regulasi itu pemerintah dan DPR justru memperbesar peluang impor dan tumbuhnya kartel pangan. Padahal, Indonesia merupakan negara agraris yang mestinya melakukan pemberdayaan kepada para petani dalam negeri agar dapat meningkatkan produktivitasnya.
“Sumber pangan adalah (di UU Cipta Kerja) produksi nasional dalam negeri, cadangan nasional dan impor. Undang-undang yang dulu bukan dan, (produksi dalam negeri dan impor) Beda pasal, beda ayat. Kalau tidak terpenuhi, baru impor,” jelasnya. “Sekarang tidak, sumber pangan adalah produksi dalam negeri, cadangan nasional, dan impor. Ini artinya dibuka lebar-lebar pintu impor yang akan dimanfaatkan segelintir orang importir,” tegasnya.
Sebagai langkah lanjutan penolakan terhadap sejumlah pasal yang justru berpotensi merugikan masyarakat tersebut, Said mengaku PBNU akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Itu yang masih akan kita usulkan ke Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Pihaknya menilai, metode uji materi ke MK dianggap lebih elegan jika dibanding turun ke jalan.Meski penyampaian aspirasi dengan cara melakukan unjuk rasa juga dilindungi UU, namun ia menganggap saat ini bukan waktu tepat. Apalagi sedang dalam kondisi pandemi corona.
“Turun ke jalan atau demonstrasi itu bukan solusi yang tepat. Justru mudharat-nya (dampak buruknya) akan lebih besar. Tapi sikap penolakan ini kita lakukan dengan elegan bahwa ada beberapa poin yang masih merugikan kita,” tutupnya.
(Ignas F)