Di atas kapal itu, setiap suku maupun agama berjuang bersama. Lahir istilah “Katong Samua Basudara” di Minahasa, atau “Ale rasa Beta rasa” di Maluku yang teresap dalam ungkapan “potong di kuku, rasa di daging”. Di Papua, lahir istilah “Tiga Tungku Satu Batu” untuk menjelaskan konsep kebersamaan, persatuan, dan harmonisasi. Di Batak lahir istilah “Dalihan ma Tolu” (tiga tungku yang satu). Di masyarakat Dayak orang hidup bersama dalam “Huma Betang” (rumah panjang). Di Jawa, orang selalu mendamba hidup “ayem tenteram”. Mereka menggenggam istilah “Rukun Agawe Santosa, cah Agawe Bubrah” (rukun membuat Santosa, bertengkar menimbulkan kehancuran).
Kini, prinsip persatuan lahir dari kearifan lokal, apa lagi yang membuat kita bingung mengeratkan persaudaraan. Apa kelemahan kita sebagai anak bangsa? Kelemahan kita adalah kurang percaya diri, sehingga bangsa ini seakan menjadi bangsa penjiplak luar negeri. Menjadi agama Kristen kebarat-baratan, Islam kearab-araban. Anak bangsa kurang percaya diri dan saling mempercayai, padahal kita ini asalnya adalah rakyat gotong royong.
Kita belum tertawa bebas karena di seantero bangsa ini orang masih saling menghujat. Lucu bahwa orang masih bertanya apa agamamu? Banyak negara sudah menjelajah bulan, bangsa ini masih menaiki tangga pertama yang mempersoalkan kebebasan beragama. Apakah kita tertawa puas menggapai mimpi dengan bebas? Di banyak daerah, para pendatang dianggap kelas dua, tuan tanah kelas pertama. Maka ketika pendatang bersalah, mereka pantas dihukum. Sementara tuan tanah pun bersalah, mereka memiliki hak previlagak istimewa. Kini jasa dan perjuangan banyak pahlawan sudah bisa dibeli dengan uang. Merdeka atau mati, jawabannya terletak pada kecil atau besarnya uang.
Tuhan menciptakan bangsa ini untuk maju melawan kebohongan elit kalangan atas, dan hanya bangsa ini yang mampu melawan keegoan. Di setiap sudut bangsa, masih banyak orang hidup tertatih-tatih. Ibarat hidup tak mau, mati pun segan. Kata orang barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara, silakan terjun ke dasar lautan. Sayang, sedikit sekali yang mencoba. Banyak orang berani memilih duduk di atas perahu biarkan mutiara dari dasar laut menjemput nasib mereka. Sampai ayam tumbuh gigi pun tak akan terjadi. Nyatanya, banyak anak Indonesia pada akhirnya melakukan kekerasan, pertikaian antar suku, aksi intoleransi, persekusi terjadi di mana-mana, ada polarisasi antara minoritas dan mayoritas, sukuisme menguasai pemerintah dan instansi lainnya, politik berbalut agama mengerucut di setiap Pemilu, agama sebagai lembaga moralitas bak macan ompong menghadapi politik uang. Kalau sudah seperti ini, untuk apa kita beragama? Bukankah kita beragama untuk hidup dalam perdamaian dan kesatuan? Biarkan saja warga ini menjadi ateis atau agnostik tanpa beragama dan tak percaya Tuhan, asalkan perilaku hidup mendukung terciptanya perdamaian.
Indonesia bukan sekadar ada kenangan, cinta dan luka. Tapi adalah tempat bertualang dan terpanggil pulang. Ada saya dan Anda yang terpanggil memperbaiki, dengan kita yang sederhana. Hendaknya kita tak perlu lelah mengatakan kita bersaudara. semangat juang layaknya darah yang bergejolak, kuatkan lah tekad dan tujuan bagai pohon yang memiliki akar yang kuat dan jadikanlah warna merah sebagai semangatmu dan warna putih sebagai tekadmu karena merah putih warna benderamu.
Tinus Wuarmanuk