Surabaya, POJOKREDAKSI.COM – Menurut keterangan Walikota Surabaya Eri Cahyadi, selama tahun 2022, angka kemiskinan di Kota Surabaya menurun 83,1%, yaitu 1,3 jiwa warga miskin menjadi 219.427 jiwa, namun keterangan tersebut diragukan oleh Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Reni Astuti.
Reni meragukan data yang disampaikan Walikota Surabaya itu, karena berbeda dengan angka indikator warga miskin dan warga yang masuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Ia pun menyarankan kepada Pemkot Surabaya untuk Berhati-hati dalam menyampaikan data penurunan angka kemiskinan warga.
“Jadi kalau kita bicara angka kemiskinan di Kota Surabaya turun berdasarkan BPS (Badan Pusat Statistik) memang iya. Tapi kalau angka penurunan kemiskinan sampai 1 juta lebih orang miskin terentaskan, itu harus dilihat lagi dan hati-hati (disampaikan),” tegasnya, Selasa (3/1/2023).
Pemkot Surabaya harus bisa membedakan antara warga miskin dan warga yang masuk kategori MBR. Hal tersebut ia sampaikan berdasarkan Peraturan Wali (Perwali) Kota Surabaya Nomor 106 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pengumpulan, Pengolahan dan Pemanfaatan Data Keluarga Miskin.
Politisi PKS ini meminta Pemkot Surabaya melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait untuk meninjau kondisi warga yang dihapus dari data kemiskinan tersebut. Sebab, sekitar 1 juta warga yang dihapus dari data kemiskinan tersebut, harus dipastikan masuk kategori MBR.
“Bahkan harus di break down ditingkat kelurahan. Lurah harus melihat, dia (warga) siapa kemudian kondisinya seperti apa, potensi ekonomi di keluarganya seperi apa, yang kemudian bisa diintervensi oleh Pemkot,” kata Reni.
Lanjut Reni, Pemkot Surabaya juga harus bisa memastikan warga miskin yang wajib dilindungi. Sebab, belum dicantumkan dalam Perwali 106/2022 untuk kategori usia produktif dan usia tidak produktif.
Dengan penentuan usia produktif dan tidak produktif, Reni berharap Pemkot Surabaya bisa membedakan kebutuhan pokok dari tiap kategorinya. Diantaranya, untuk usia produktif bisa direkrut atau diberikan pekerjaan yang layak.
“Kalau tidak berada di usia produktif, maka sifatnya harus dibantu. Misalnya diberikan intervensi permakanan, sembako dan lainnya. Karena dia sudah tidak produktif, yang penting kebutuhan dasarnya terpenuhi,” pungkasnya.
(Sigit Santoso)