Jakarta, POJOKREDAKSI.COM – Politisasi intoleransi dan radikalisme telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika tidak dikendalikan dengan upaya-upaya yang baik, maka dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kasus intoleransi pasca reformasi 1998 sudah sangat banyak. Faktornya karena berbagai alasan pragmatis, juga karena keberagaman yang dimiliki Bangsa Indonesia. Namun, yang paling nyata karena upaya pihak-pihak tertentu yang sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Hal ini menjadi dasar digelarnya Diskusi Politik (Dispol) Seri #23 Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Vox Point Indonesia secara virtual pada Rabu 20 Oktober 2021.
Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati mengatakan masalah intoleransi telah dijadikan alat untuk mendapatkan kekuasaan. Ada pihak yang sengaja menggunakan isu intoleransi untuk mengejar jabatan.
“Ada pihak-pihak yang sengaja membenturkan isu sehingga terjadi persepsi negatif di masyarakat. Ini yang kita sebut politisasi intoleransi,” kata Handojo.
Handojo menilai, cara berpolitik seperti ini mengurangi kualitas demokrasi Indonesia. Karena didesain hanya untuk menghasilkan kemenangan bagi pihak tertentu.
Menurut dia, jika merujuk perjalanan Bangsa Indonesia, kita paling mudah di adu domba. Seperti politik devide et impera yang sudah kita rasakan sejak jaman penjajahan.
“Kita cermati saja pada era sekarang bagaimana rivalitas cebong dan kampret hampir membelah bangsa ini. Sekarang yang patut kita waspadai adalah pihak yang melempar istilah kadrun,” tegas Handojo.
Untuk itu, Handojo meminta agar seluruh rakyat waspada berbagai upaya pihak-pihak yang bisa mengancam keutuhan bangsa. Terutama menjelang perhelatan politik 2024.
“Masyarakat harus sangat waspada karena pihak pemecah belah itu tidak hanya berasal dari pihak oposan. Bahkan dapat juga berasal dari pihak yang menganggap diri nasionalis, tetapi pemahamannya yang dangkal tentang nasionalisme, kebangsaan dan kebhinnekaan. Kadang dirinya menganggap pihak lain sebagai radikal,” ungkap Handojo.
Handojo khawatir, jika demokrasi Indonesia masih diwarnai praktek politik seperti ini bisa mengakibatkan terjadinya perpecahan di tengah masyarakat. Bahkan berdampak pada pelayanan publik yang tak berkualitas.
Ia menyebut sangat ironis jika menganggap pihak yang kritis terhadap pemerintah disebut radikal. Bahkan dianggap melawan empat konsensus dasar negara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan demikian ia berharap Diskusi Politik ini menjadi wadah yang tepat untuk memberikan edukasi politik dan pencerahan kepada publik. Melalui narasumber yang kompeten semoga masyarakat dapat tercerahkan agar proses politik ke depan semakin baik.
Dispol ini menghadirkan empat narasumber di antaranya Islah Bahrawi (Penulis Buku Intoleransi dan Radikalisme), Mohammad Qodari (Direktur Eksekutif Indo Barometer), Effendi Simbolon (DPR RI – PDI Perjuangan) dan Mardani Ali Sera (DPR RI- PKS).
Redaksi