Vox Point Selenggarakan Webinar Internasional Tentang Dokumen Abu Dhabi

Jakarta, POJOKREDAKSI.COM — Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Vox Point Indonesia menggelar Webinar Internasional tentang Dokumen Abu Dhabi. Kegiatan ini kerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Asosiasi Pendeta Indonesia (API), yang berlangsung virtual (19/12/2020).

Hadir sebagai pembicara antara lain Staf Dewan Kepausan Untuk Dialog Antar Umat Beragama, Vatikan, Pastor Markus Solo Kewuta, SVD, Pdt. Tonny Andrian Stefanus dari DPP Asosiasi Pendeta Indonesia, AM Fachir sebagai Wamenlu 2014-2019 dan Musthafa Abd Rahman sebagai Pengamat Timur Tengah yang juga sebagai Wartawan Senior Kompas domisili di Mesir.

Dalam kegiatan bertajuk Perdamaian Dunia Pasca Dokumen Abu Dhabi, itu Pastor Markus Solo Kewuta, SVD memberikan tiga refleksi penting Dokumen Abu Dhabi untuk toleransi di Indonesia.

“Kalau dibaca secara saksama dokumen Abu Dhabi ini sebenarnya memiliki 12 tesis utama. Pada kesempatan ini saya ingin menyoroti secara khusus 3 point, karena hemat saya krusial dan berguna untuk masa depan dunia dan terutama untuk negara kita Indonesia,” kata Pastor Markus.

Adapun tiga point tersebut yakni soal urgensi pendidikan, menguji keotentikan toleransi dan budaya rekonsiliasi. Tiga point penting ini ada dalam Dokumen Abu Dhabi atau “The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together” yang dapat dipelajari secara bersama-sama.

Urgensi Pendidikan

Menurut Pastor Markus pendidikan pada umumnya merupakan hak setiap warga negara. Ia menekankan soal pendidikan khusus yakni pendidikan perdamaian. Hal ini kata dia merupakan upaya-upaya yang ditempuh baik formal maupun non formal untuk membawa, membimbing anak-anak dan generasi muda untuk keluar dari geto-geto spiritual.

“Yakni (keluar) dari klaim-klaim kebenaran sepihak yang mungkin kadang juga menyesatkan. Keluar dari kesalahpahaman tentang agama dan kepercayaan orang lain. Dari ketidaktahuan, dari tendensi pencampur bauran, dari kerancuan, menuntut kebenaran sendiri,” kata Pastor Markus.

Ia meyakini tidak ada suatu negara di dunia ini yang ingin kehilangan sebuah generasi. Hilangnya sebuah generasi artinya hilangnya kans untuk pembangunan kemajuan dan perkembangan.

Baca Juga :  Siswi Non Muslim Harus Berjilbab? Biadab!

“Dan bukan kebetulan Dokumen Abu Dhabi menekankan pendidikan sebanyak 3 kali. 2 kali tertuju kepada anak-anak dan kaum muda yang harus dibekali pendidikan yang sehat dan inklusif. Mulai dari rumah, dalam lingkungan, tetapi juga di dalam institusi-institusi formal. Yang ketiga ditujukan kepada pendidikan kaum wanita,” bebernya.

Lebih lanjut ia menjelaskan upaya penyelamatan masa depan bangsa yang bebas dari pelbagai energi-energi negatif baik dalam rana agama, budaya, sosial dan politik harus berawal dari reformasi pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan yang sehat dan yang berkiprah kepada kemajemukan.

“Untuk konteks Indonesia dengan memasukkan dialog lintas agama, ilmu pluralisme, atau Pancasila atau nama yang cocok ke dalam kurikulum sekolah,” kata dia.

Sebaliknya buku-buku yang ke luar dari nuansa-nuansa dan narasi-narasi yang eksklusif, intoleran dan penuh dengan kebencian mesti dihilangkan (dari sekolah).

Pastor Markus menjelaskan di dalam pidatonya di situs Founder Abu Dhabi pada saat penandatanganan dokumen Abu Dhabi Paus Fransiskus berkata “disamping pepatah kuno yang terkenal itu mengatakan kenalilah dirimu, kita juga harus dapat dalam konteks Abu Dhabi mengatakan kenalilah saudara dan saudari mu, kenalilah sejarah mereka, budaya dan agama mereka.”

“Kita orang Indonesia saya yakin sudah lama mengenal kata itu dalam ungkapan yang lain seperti dikenal maka disayang. Pendidikan adalah jalan penting membuka realitas secara obyektif menuju persaudaraan insani bebas dari prasangka dan kebencian,” jelasnya.

Menguji Keotentikan Toleransi

Menurut Pastor Markus Dokumen bersejarah yang ditandatangani pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi oleh dua tokoh yakni Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb ini meninggalkan catatan kritis untuk bangsa Indonesia.

“Dunia mengenal kita sebagai sebuah bangsa besar dan memiliki toleransi yang sangat tinggi. Oleh karena dasar bangsa Pancasila. Akan tetapi kerap kita berkonfrontasi dengan realitas lain oleh karena maraknya praktik-praktik intoleransi,” bebernya.

Ia menjelaskan Intoleransi pada dasarnya dari kata bahasa latin tolerare sebenarnya berkonotasi ganda baik negatif maupun positif. Negatifnya adalah menuntut seseorang untuk menanggung, menerima di dalam penderitaan dan menahan diri.

Baca Juga :  Vox Point Indonesia: Perlu Penegakan Hukum Demi Terwujudnya Toleransi

Hal ini mengasumsi kehadiran situasi atau sebuah objek, sebuah kelompok manusia, pribadi kurang enak yang dirasakan dan mengganggu malah dianggap beban. Oleh karena itu, tolerare bermakna sekalipun batin bergejolak menderita tetapi orang dituntut untuk saling membuka diri, merangkul dan menerima.

“Barangkali di dalam pemahaman ini kata toleransi berkaitan erat juga dengan kata bahasa Latin dengan akar yang sama artinya dolore artinya merasa sakit. Pertanyaaanya apakah kita memahami toleransi justru di dalam konteks tersebut. Oleh karena itu pertanyaan lanjutan apakah pluralitas bangsa kita dianggap di dalam konteks tersebut sebagai sesuatu yang tidak enak dan mengganggu.”

“Mungkin kita harus berpihak ke dalam pemahaman yang berikut yang lebih positif artinya dari kata tolerare yang berarti mendukung, menyokong, yang lebih bebas oleh karena orang memiliki keterbukaan, open mine, dan juga kesediaan untuk menderita. Tanpa ini toleransi sejati tidak akan ada,” jelasnya.

Ia menambahkan dalam kaitan dengan ini, pluralisme adalah sebuah sistem nilai yang menghormati perbedaan-perbedaan. Mengintip bahasa dokumen Konsili Vatikan 2 yakni Nostra Aetate yang memiliki juga sinar-sinar kebenaran mencerahkan.

“Dimana bukan berarti mengakui kebenaran agama dalam level yang sama tetapi mengenal sinar kebenaran yang mencerahkan di dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia,” kata dia.

Pastor Markus menerangkan praktik toleransi yang sehat berpijak pada dua nilai penting yakni semangat keterbukaan dan semangat untuk menderita atau berkorban. Tanpa keterbukaan, pengorbanan, toleransi tentu tidak akan hadir. Tanpa itu yang terjadi malah intoleransi, apatisme, ketidakpedulian dan pembiaran. Dengan kata lain toleransi harus sejalan dengan semangat kasih.

“Sebuah bangsa yang mengklaim ada perdamaian tetapi pada saat yang sama membiarkan pelanggaran terhadap hak-hak warga terjadi artinya di sana tidak ada kasih. Dan kalau sebuah bangsa mengklaim ada kasih tetapi ternyata tidak ada keadilan maka ini adalah sebuah pernyataan absurd,” tegasnya.

Budaya Rekonsiliasi

Budaya rekonsilisasi atau healing of memory yakni melupakan (menyembuhkan) masa lalu. Dokumen Abu Dhabi lahir dari sebuah riwayat relasi yang panjang antara Tahta Suci Vatikan dan Al-Azhar yang dibuka sejak tahun 1989. Relasi ini tentu saja diwarnai dengan berbagai pengalaman.

Baca Juga :  Menjelang Paskah 2021, Vox Point Indonesia Minta Umat Kristiani Tenang dan Waspada

Pastor Markus menjelaskan Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed el-Tayeb berpelukan sudah sejak pertemuan pertama pada musim semi tahun 2016 di Vatikan. Menurutnya inilah semangat rekonsiliasi oleh dua tokoh dunia. Bahwa kesalahan apapun yang pernah terjadi (di masa lalu) bukan merupakan halangan untuk memutuskan relasi persahabatan dan persaudaraan.

Konsili Vatikan 2 dalam Gereja Katolik terutama dalam dokumen Nostra Aitate yang mengatur hubungan antara agama Katolik dengan umat beragama lain pada pilar ketiga yang didedikasikan untuk menjamin relasi dengan umat Islam. Dalam hal ini mengajak umat Katolik dan Islam untuk melupakan yang sudah-sudah.

“Melupakan artinya, kita mau menghidupi semangat rekonsiliasi, saling memaafkan, untuk kembali merajut tali persahabatan dan tali persaudaraan kita. Daripada kita terikat dari sejarah masa lalu, atau saling berdebat soal ajaran agama yang tidak mungkin akan menemukan solusi,” bebernya.

Oleh karena itu semua (umat) diajak untuk mencari titik-titik temu yang biasanya berkulminasi di dalam pertanyaan-pertanyaan sosial untuk bekerja bersama demi kesejahteraan bersama dan untuk memperbaiki masa depan.

Ia membeberkan, pada akhirnya dokumen Abu Dhabi adalah sebuah batu loncatan penting menuju sebuah peradaban global yang menyerukan pembangunan jembatan antara sesama manusia dan antara umat beragama. Bukan membangun tembok pemisah melainkan membuka diri kepada orang lain yang sekalipun berbeda agama dan budaya, warna kulit, latar belakang etnik.

“Mengenal mereka secara lebih baik, dan menemukan di dalam mereka sisi-sisi saudara atau saudari sendiri adalah maksud dari dokumen ini. Inilah jalan yang benar menuju runtuhnya tembok-tembok pemisah yang hadir dalam khidupan manusia yang saya sebut sebagai geto-geto spiritual,” kata Pastor Markus.

Sekalipun dokumen Abu Dhabi ini ditandatangani dua pemimpin dunia saja yakni yakni Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb namun telah menjadi sebuah contoh yang baik. “Ini sebuah gerakan yang merangkul umat Islam dan Kristiani di dunia tetapi juga semua orang yang berkehendak baik dan tentu saja menurut klaim dari pemuka agama hal ini dapat diterjemahkan dalam agama mereka masing-masing,” tutup Pastor Markus.

(NS/ Abet Theresia)

POJOKREDAKSI.COM

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pojok WA