Gunung Putri, POJOKREDAKSI.COM – Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor selalu menjadi market place yang menarik bagi para pengusaha dan pengembang. Diharapkan kehadiran para pengusaha yang menjadikan Gunung Putri sebagai wilayah perindustrian dapat mendongkrak perekonomian masyarakat di wilayah Gunung Putri dan sekitarnya.
Namun hendaknya perekonomian masyarakat tidak saja menjadi salah satu aspek penting bagi kehadiran industri-industri yang berkembang di Gunung Putri. Sebagai organisasi yang melakukan kegiatan produksi atau tempat berkumpulnya semua faktor produksi, diharapkan bisa memberdayakan sekaligus memperhatikan kesejahteraan dan keselamatan para pekerja; mempertimbangkan moral dan kesusilaan; serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang (UU) No. 13/2003 dan UU No 3/1992, UU no. 3 /1982 tentang hak dasar para pekerja atau dasar hukum lainnya.
Upah Tak Layak
Sangat disayangkan sebab dalam realitas industri-industri di Gunung Putri keluar jauh dari aturan dan regulasi hukum yang ada. Di PT. Daelim Internasiona Inc, yang beralamat di Gang Sawo, Jl. Mercedes Benz, RT 03/003, Desa Cicadas hampir semua karyawan diperlakukan dengan tidak layak. Sampai berita ini ditulis, banyak karyawan bekerja tanpa ada perlindungan hukum berkaitan dengan hak mereka dan kewajiban perusahaan untuk memperhatikan kesejahteraan karyawan. Masih banyak karyawan mendapat upah di bawah ketetapan Upah Minimun Provinsi atau sebuah kota.
Jawa Barat khususnya Kota Bogor pada tahun 2021 menetapkan Upah Minimum sebesar Rp. 4.217.206. Upah ini jauh dari rasa keadilan dan tidak akan dinikmati oleh para pekerja di PT. Daelim. Setiap pekerja sesuai fungsi dan kedudukannya dibayar per jam. Upah dibayar per jam berkisar dari Rp. 6.000 12.000, semua dibedakan sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Jika dikalkulasi secara keseluruhan para helper dan tenaga keamanan yang mendapat upah Rp.6.000 per jam sebulannya hanya menerima gaji 1.500.000 ribu. Sementara posisi yang lain bisa mendapatkan upah 2-3 juta perbulan.
“Upah ini sangat jauh dari harapan kami. Kami berharap manajemen dapat mempertimbangkan situasi ini dan segera mengambil tindakan kemanusiaan secepat mungkin,”ujar seorang helper yang tak ingin namanya disebutkan.
Sambungnya, “Kami mau bagaimana lagi sementara anak istri butuh makan di rumah. Daripada menganggur di rumah lebih baik mengambil pekerjaan ini,” sebutnya dengan wajah memelas.
Ia menyayangkan sikap ini dari perusahaan. Bahkan waktu THR Idul Fitri tahun 2021, perusahaan hanya mampu membayar para pekerja antara Rp.100.000 ribu sampai 250.000 ribu. Termasuk mereka yang sudah bekerja di atas satu tahun bayarannya sama. “Pembayaran THR ini juga pun karena aksi demo dari para pekerja,” lanjutnya.
Waktu Kerja Diabaikan
Keluhan lagi datang dari para pekerja soal waktu kerja. Ketika ditemui di pabriknya, Minggu, 30/5/2021, Matius seorang tenaga keamanan mengungkapkan bahwa para pekerja di sini tidak pernah dibayar lembur. Waktu kerja lebih dari ketentuan undang-undang.
Matius mengeluhkan kalaupun ada waktu lembur, hendaknya diperhatikan jam lembur dan dibayarkan sebagaimana mestinya. Di PT. Daelim sendiri hanya dihitung upah 8 jam kerja. Lebih dari 8 jam tidak ada pembayaran. Sementara karyawan bisa bekerja dari pukul 08.00-19.00, bisa berlanjut sampai pukul 20.00 WIB, atau pukul 00.00 bahkan bisa bekerja sampai pukul 03.00 dini hari.
“Tapi pembayarannya tidak semua sesuai dengan aturan karena yang dibayar cuma 8 jam kerja, sisanya dibayar dengan ucapan terima kasih. Ini namanya kita memperkaya pemilik pabrik.”
Eks Gaji Karyawan Belum Dibayarkan
Menyoroti soal PT. Daelim yang miliknya seorang pengusaha Korea bernama Park Wunbae bukan saja saat ini melakukan perbudakan massal, sistematis, dan terstruktur berkedok industri. Hal ini juga diamini oleh seorang karyawan mereka Jaelani saat ditemui di kantor pos sekuriti PT. Daelim, Senin, 31/3. Jaelani mengungkapkan situasi ini benar-benar terjadi tetapi biarlah persoalan ini menjadi persoalan manajemen.
Disebutkan, masih dalam tahun 2021, tepatnya sampai April 2021, PT. Daelim belum bisa membayar sisa gaji yang dikeluhkan para mantan pekerjanya yang sudah keluar beberapa bulan sebelumnya.
Wati selaku HRD yang membawahi PT Daelim yang sehari-hari berkantor di PT. Prestasi menjelaskan persoalan PT Daelim menggantung gaji mantan karyawannya karena kondisi keuangan perusahaan yang tidak stabil. Hanya saja ketika pihak Pojokredaksi.com meminta konfirmasi belum ada konfirmasi lanjutan apa yang menjadi penyebabnya.
Walau belum lunas penggajian beberapa mantan karyawan, herannya masih banyak pihak ketiga yang menjadi calo untuk para pekerja baru, termasuk di dalamnya adalah dari berbagai LSM.
Ketika dikonfirmasi oleh Pojokredaksi.com, di hari yang sama ada beberapa orang yang membawa para pekerja dari Cariu, Jawa Barat untuk bekerja di PT Daelim. Menjadi persoalan mengapa situasi keuangan bermasalah tetapi justru terus membuka lowongan pekerjaan. Dari informasi yang dirampung di lapangan, PT. Daelim sampai akhir Mei 2021 masih membutuhkan sedikitnya 200 orang lagi.
Seperti dikutip dari Cibinongnews.com soal upah kerja sudah disepakati dari awal yaitu ketika pertama kali seorang karyawan bergabung menjadi pekerja. “Lanjut Wati, untuk upah dan jam kerja karyawan, sebelum mereka bekerja, perusahaan telah memberi penjelasan mengenai kedua hal tersebut. Waktu penggajian pada PT Daelim diberikan pertanggal 15-20 setiap bulannya,” jelas Wati.
“Semuanya sudah dijelaskan pada saat diterima sebagai karyawan, tidak ada unsur paksaan,” kata Wati.Tapi apakah regulasi pembayaran ini sudah sesuai dengan aturan pemerintah? sementara Wati sebagai HRD atau Staff Accounting tidak pernah menetap di tempat. Tepatnya PT. Daelim tidak memiliki manajemen yang teratur sebagaimana perusahaan pada umumnya.
Pemerintah Tutup Mata?
Seorang warga yang berada tepat di sekitar PT. Daelim saat ditemui juga merespon negatif tentang kehadiran pabrik PT. Daelim yang bahan produksinya adalah pembuatan tas. Ahmat, seorang warga RT 03/003 mengeluhkan bahwa dengan perbudakan di PT. Daelim pemerintah seakan menutup mata terhadap hal ini.
Bukan saja itu, sebut Ahmat, PT. Daelim berada tidak jauh dari kantor Desa Cicadas. Apakah pemerintah desa tidak pernah merespon persoalan ini? “Terkesan mengabaikan para pekerja yang masuk bekerja sesuka hati, kalau tidak tahan bisa keluar sesuka hati,” ujarnya.
Ahmat juga berharap pabrik-pabrik yang tidak memiliki manajemen jelas seperti ini hendaknya mendapat perhatian pemerintah desa atau pemerintah kecamatan. Supaya tujuan menyejahterakan masyarakat bisa terpenuhi. “Kalau tidak demikian, ada kesan bahwa pihak desa dan instansi lain terkesan tutup mata. Apakah karena ada setoran bulanannya?” begitu Ahmat merespon.
Koordinator Polisi Aktif
Saat Pojokredaksi.com, turun lapangan dan mengkonfirmasi persoalan ini, informasi di dapat dari tenaga keamanan bahwa saat ini PT. Daelim di bawah koordinator anggota Polisi bernama Ibu Romlah. “Sekarang Ibu Romlah bertugas sebagai Humas di Polsek Cileungsi. Dulu katanya Ibu Romlah bertugas di Polsek Gunung Putri,” ujar seorang karyawan.
Ditambahkan seorang sekuriti Ibu Romlah menjadi koordinator baik keamanan atau segala urusan yang berkaitan dengan PT. Daelim khususnya dengan pihak luar.
Lagi-lagi andai kejadian ini terjadi dan PT. Daelim di bawah koordinator seorang anggota Polri aktif, banyak orang akan mempertanyakan di mana fungsi dan tugas Pokok Kepolisian sebagaimana diatur dalam UU No. 2/2002.
Tidak Punya Serikat dan Bipartit
Informasi terakhir yang didapat adalah PT. Daelim sampai saat ini tidak memiliki Bipartit atau LKS Bipartit semacam forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha. Selain itu tidak memiliki Serikat Pekerja yang menjadi kontrol bagi sebuah perusahaan.
Jangankan itu, di PT. Daelim juga, tidak ada BPJS kesehatan atau BPJS ketenagakerjaan. Semuanya bekerja sesuka hati, bisa keluar kapan saja dan masuk kapan saja.
Suara Keadilan Tim Advokat
Atas situasi ketidakadilan ini, beberapa advokat di bawah pimpinan Ferdinand Y. Tuapetel, SH dan rekan-rekan atas keluhan beberapa pekerja yang memberi kuasa kepada Tim Advokat untuk segera menindaklanjuti persoalan karyawan.
Selama dua hari, terhitung Minggu-Senin, 30-31/5 telah melakukan konfirmasi-konfirmasi sekaligus ingin mengadakan diskusi dan meminta penjelasan terkait informasi-informasi yang sudah disebutkan di atas. “Kami tidak ingin mendengar dari satu pihak. Harus dari dua arah agar informasinya lebih valid,” sebut Ferdinand.
Namun pada hari kedua, belum ada jawaban resmi dari pihak PT. Daelim dalam hal ini yang dianggap bisa berbicara adalah Ibu Wati sebagai HRD.
Tim Advokat ini berharap corat-marit dengan ragam persoalan yang dialami PT. Daelim dengan para pekerja dapat diselesaikan dengan baik atau pun jika masalah ini tidak dianggap serius maka bisa diproses sesuai hukum. Paling tidak kesejahteraan karyawan dapat diperhatikan sesuai amanat undang-undang. Selain itu diharapkan di PT. Daelim yang adalah Usaha Makro dapat membentuk Serikat Pekerja dan Bipartit. Hal ini agar ada perjuangan dari karyawan bila ada ketidakadilan. Mengingat saat ini karyawannya berkisar 300-an orang.
Jika anggota Polisi sebagai kordinator, bisa menambah keberanian dan kepala besar pihak pengusaha yang bisa dengan semena-mena melakukan perbudakan di Pt. Daelim. Dengan begitu akan terjadi lost kontrol dari aparat pemerintah setempat, bahkan Disnaker.”Dengan kehadiran pihak Polisi maka bisa saja pihak desa atau kecamatan tidak akan ikut campur lebih dalam. Bisa terjadi tumpang tindih kepentingan.
Ferdinand menyebutkan akan menyelesaikan persoalan ini termasuk jika pihak kepolisian dan aparatur desa atau kecamatan terlibat. Bahkan bila perlu persoalan ini harus disampaikan kepada Dinas Ketenagakerjaan agar persoalan ini terang benderang. (YHW)
Apa masih ada lowongan pak/ibu saya butuh kerjaan .pak /ibu