Parpol Cegah Politik Uang

POJOKREDAKSI.COM – Pilpres dan Pemilu 2024, baru saja selesai. Setelah KPU memutuskan dan menetapkan pemenang Pilpres dan Parpol yang berhasil ke Senayan, Rabu, 20 Maret 2024.

Namun, pada pelaksanaannya masih terjadi praktik jual beli suara atau politik uang. Kekuatan uang masih dominan mempengaruhi pemilh (voters) untuk memilih pasangan Calon Presiden maupun Legislatif.

Sejatinya, pemilu merupakan pesta demokrasi yang dilaksanakan secara luber jurdil. Luber jurdil adalah asas penyelenggaraan Pemilu di Indonesia secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini diatur dalam Pasal 2 UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu).

Di tengah menguatnya harapan publik terwujudnya pemilu luber jurdil, tapi pelaksanaannya jauh dari asas tersebut. Politik uang sudah seperti tradisi lima tahunan. Pilpres, Pemilu dan Pilkada semacam momentum transaksi jual beli suara.

Bukti politik uang pada pemilu 2024 ramai di media sosial. Beberapa caleg meminta kembali uang yang telah dibagikan, karena tidak terpilih. Atau suara kandidat tidak sesuai janji yang disepakati.

Seperti yang dialami Welly Ismail, salah satu warga di Kelurahan Bulotadaa Timur, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo. Ia mengaku didatangi oknum caleg dari salah satu partai politik peserta Pemilu 2024 untuk meminta sejumlah uang yang telah diserahkan sebelum pencoblosan dikembalikan. (KompasTV, 19-02-2024).

Kemudian seorang perempuan yang diduga tim sukses salah satu calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan mendatangi warga dan meminta uang yang telah diberikan sebelum hari pencoblosan dikembalikan. (Beritasatu.com, 20-02-2024).

Baca Juga :  Sorgum, Sumber Bioetanol Ramah Lingkungan Untuk Masa Depan

Sementara politisi Demokrat Benny K. Harman mengakui sudah tak semangat maju sebagai calon gubernur NTT. Ia menyadari karena biaya politiknya sangat mahal. Dan, praktik politik uang masih terjadi.

“Sekarang ini nggak ada duit, nggak ada suara. Di NTT, pencuri, setan bisa jadi pemimpin asal ada uang. Yang kita butuhkan saat pilkada atau pemilu bukan memilih orang baik, bukan mencegah orang jelek berkuasa, tetapi memilih orang yang selalu berbuat baik. Orang yang berbuat baik untuk rakyat bisa juga pencuri, penjahat, tapi dia selalu berbuat baik,” kata BKH seperti dikutip dari Kompas.Com, (19-03-2024).

Menurut survei pasca-pencoblosan (exit poll) Indikator Politik Indonesia, mayoritas atau 49,6% responden pemilih Pemilu 2024 menilai politik uang bukan hal yang wajar dan tidak dapat diterima. Namun, persentase tersebut turun drastis dibanding pemilu sebelumnya.

“Mereka yang mengatakan politik uang bukan sesuatu yang bisa diterima, artinya tidak wajar dilakukan oleh capres-cawapres atau timsesnya itu, di Pemilu 2019 ada 67%, sekarang tinggal 49,6%,” kata Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi dalam paparan surveinya secara daring, Rabu (21-2-2024).

Mereka juga menemukan, pada Pemilu 2024 ada 46,9% responden yang menyatakan politik uang bisa diterima sebagai hal yang wajar. Proporsinya naik pesat dibanding Pemilu 2019 yang hanya 32%.

Fakta ini menunjukkan bahwa transaksi jual beli suara menggunakan uang masih menguat. Lantas apa yang bisa dilakukan, agar transaksi jual beli suara bisa dihilangkan. Apa yang bisa dievaluasi dari maraknya praktik politik uang?

Hal ini tentu menjadi preseden buruk demokarasi Indonesia. Karena itu, harus menjadi perhatian dan catatan bagi pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia.

Di sisi lain penyelenggara mesti menjalankan tugas dan fungsinya mencegah politik uang sejak dini. Sebagimana diatur dalam konstitusi dan aturan KPU dan Bawaslu.

Baca Juga :  Kado Natal Dari Pak Jokowi Untuk Toleransi

Kemudian peran pemerintah perlu diperkuat. Melalui berbagai lembaga dan kementerian bisa bersinergi untuk menangkal praktik politik uang.

Lembaga pendidikan perlu diberi tugas dan berperan aktif memberikan edukasi politik. Sejak dini, mungkin di tingkat pendidikan Sekolah Dasar, pendidikan anti korupsi perlu diajarkan.

Bagaimana dampak politik uang bagi demokrasi ke depan. Dengan demikian, generasi penerus sudah mempunyai pemahaman dasar mengenai politik.

Kemudian yang tak kalah penting adalah evaluasi partai politik. Ada tiga hal penting yang harus dilakukan parpol dalam upaya mencegah terjadinya politik uang yang akut.

Pertama; merestorasi sistem tata kelola perekrtutan calon pemimpin. Baik di Eksekutif maupun Legislatif. Pastikan para calon merupakan kader yang sudah dibekali dengan pendidikan politik yang sejalan dengan konstitusi dan aturan parpol.

Dalam proses pendidikan di parpol, memastikan mereka adalah orang-orang yang punya integritas. Setia, loyal terhadap parpol. Serta siap untuk tidak melakukan transaksi politik uang. Jika kader melanggar, maka parpol harus berani memecat dan diproses secara hukum.

Kedua; memilih kader yang mempunyai kompetensi atau keahlian dalam bidang pelayanan publik. Juga memiliki kapasitas; attitude yang baik. Mendiskualifikasi kader yang terbukti melanggar aturan, bahkan memecat dari keanggotaan parpol.

Ketiga; parpol wajib mengetahui dan mengecek kekayaan para kader yang bertarung pada Pilpres, Pemilu, dan Pilkada. Hal ini bisa dilakukan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Parpol mengecek darimana saja sumber keuangan dan ke mana jalur pengeluarannya.

Parpol bekerjasama dengan pemerintah atau pihak Bank. Agar tidak mengizinkan melakukan transaksi dari nama-nama para kandidat sejak ditetapkan oleh KPU/D sampai pemungutan suara.

Mungkin wacana ini sangat bombastis, sebab pelaksanaannya tidak semudah yang dipikirkan. Karena sangat privasi dan bertentangan dengan hak setiap orang. Karena itu, parpol mengusulkan melalui anggotanya di Senayan untuk dibuat Undang-undang atau Peraturan Pemerintah.

Baca Juga :  Perang Rusia Ukraina, Pengamat Maritim: Efek Positif Bagi Dunia Maritim dan Pelaut Indonesia

Jika semua parpol dan kandidat berkomitmen untuk tidak membagikan uang, maka masyarakat tidak lagi mengharapkan uang untuk memberikan hak politiknya.

Ketika semua kandidat datang membawa gagasan, memberi edukasi politik dengan menolak politik uang. Maka, masyarakat akan tersadarkan. Bahwa politik uang berdampak buruk pada kualitas demokrasi. Bahkan, aspirasi kebutuhan rakyat tidak dipedulikan.

Semoga parpol bisa mengevaluasi Pilpres dan Pemilu 2024. Di depan mata akan ada Pilkada serentak di Indonesia. Pilkada 2024 mesti menjadi momentum untuk berani memulai melakukan pembenahan.

Parpol harus menjadi garda terdepan mewujudkan politik yang bersih tanpa mahar politik. Dan, tidak membiarkan terjadinya praktik politik uang.

Dengan begitu, maka masyarakat akan tersadarkan. Parpol harus tegas dan berani memutuskan mata rantai politik uang. Keberanian itu harus diwujudkan dalam praktik politik di tengah masyarakat, sehingga demokrasi kita semakin baik dan berkualitas.

Oleh:Ervan Tou
Direktur AMAN Research, Pengurus DPN Vox Point Indonesia

POJOKREDAKSI.COM

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pojok WA