POJOKREDAKSI.COM – Dear H2N, terima kasih telah mengunjungi kampung Poa Saulo. Sebuah kampung di sudut Timur Kecamatan Cibal yang jika di cek di dalam peta dunia nama Poa ada di Brazil tapi ada Saulo di belakangnya. Ini mungkin mimpi leluhur kami yang belum kesampaian agar cucu-cucunya bisa hebat soal tiki-taka mengelolah bola seperti pemain-pemain Brazil itu.
Hanya saja di kampung ini tidak ada lapangan bola kaki. Di sini hanya natas atau “halaman kampung” yang sering menjadi dendam rindu dari para kaka-kaka yang berada atau pernah di perantauan seperti Malaysia, Kalimantan, Makasar, Sumatra, Jakarta dan Bali.
Mungkin halaman ini sudah agar berbeda. Dulu di sini sangat ramai terutama sebelum warga besar-besaran pindah ke Owak kampung pemekaran. Kala itu, halaman ini begitu ramai setiap sorenya. Ada yang bermain volley atau takraw. Anak-anak bermain kasti, gundu, kemiri (banga welu) kopi (Nggetel Kopi) main lompat tali, main engklek (maeng Cina. Seringkali juga di isi dengan permainan rangkuk alu saat bulan purnama tiba, tapi sudah jarang. Semua itu tinggal kenangan.
Kedatangan H2N kali ini membuat kami merasa spesial. Selama berdirinya kampung ini belum ada satupun bupati yang pernah datang ke sini. Begitu juga calon bupati. Mereka hanya lari lewat saja. Mungkin mereka mengintip kampung yang terpencil ini dari kejauhan.
Dengan kedatangan H2N ke kampung Poa ini bagi kami juga merupakan sebuah perhatian yang sangat serius dari paket ini. Kini, kampung yang berdiri di atas bukit bebatuan dan di bawa kaki liang Rangkeng itu secara politis diperhitungkan. Maka ketika paket H2N mencicipi kopi yang kami saji berarti ada interaksi untuk menyalurkan aspirasi kami.
Sederhananya, inilah percakapan politik, “ganda pelitik” untuk saling mendengarkan, memahami, bersinergi, berdialog dan curhat soal aspirasi-aspirasi kami. Bahwa kita tinggalkan ruang kaku dimana pertemuan dengan para elite untuk menyalurkan aspirasi hanya terjadi di ruang kantor yang berubin, bertembok, berlistrik 24 jam dan berkursi empuk. Tentunya di ruangan bupati tidak ada Lutur tempat tikar di gelar dan dialog mulai bergelinding di atasnya. Semua itu berlangsung serius, canggung dan terkesan relasi antara tuan dan hamba.
Sebaliknya kali ini, dengan pertemuan secara langsung adalah wajah dari perubahan itu bahwa membangun daerah ini harus dimulai dari perjumpaan yang begitu intens di akar rumput. Dimulai dari akar agar ia tumbuh begitu kuat. Bahwa aspirasi itu tidak harus dalam sidang-sidang istimewa seperti yang dilakukan oleh para yang mulia-mulia itu. Sidang-sidang istimewa itu harus di lutur Mbaru Gendang, Natas (Halaman Kampung) bahkan di Pondok para warga.
Sehingga aktor yang mulia bisa digantikan oleh kami para warga yang setiap harinya berkebun atau bersawah, makan sirih pinang, baju compang-camping, lele mebere, lele teong tuak (tabung nira dari bambu) dan eko beka (Terbuat dari anyaman bambu untuk menyimpan hasil kebun).
Maka perjumpaan kemarin membuat kami menangkap banyak hal termasuk beberapa program yang pernah berjalan di kampung ini. Perjumpaan ini membuat kami melek kebijakan politik sehingga kami tau mana program yang dibuat oleh pemerintah pusat dan mana yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Listrik misalnya, selama ini yang kami tau itu adalah kebijakan pemerintah daerah dan ternyata merupakan kebijakan pemerintah pusat. Dengan demikian kami akan mengetahui mana pengampu kebijakan yang jujur terhadap kami dan mana yang tidak. Ada banyak hal yang kami bahas kemarin dan lembaran ini terlalu sedikit untuk diungkapkan.
Beberapa Catatan Penting
Ada beberapa catatan untuk sekadar menjadi rawatan ingatan di kampung Poa. Diharapkan catatan ini juga menjadi perhatian dalam mengambil kebijakan di kampung ini.
Pertama, di sini pernah terjadi kasus pengerjaan jalan dengan lapen yang tampak tipis tahun 2018. Pada peristiwa itu hasil pengerjaan lapen yang baru saja diselesaikan tiba-tiba ditumbuhi rumput. Pengerjaan jalan itu tentu saja asal-asalan dan merugikan warga kampung Poa.
Kedua, di sini terdapat Mbaru Gendang yang kondisinya sudah mulai rusak sehingga perlu ada pemugaran, renovasi atau mendirikan bangunan yang baru. Keadaan seng yang mulai rusak, dinding yang mulai lapuk mesti mendapat perhatian.
Ketiga, salah satu kampung yang masih merawat tradisi tenun (songket). Kualitas tenun dan motif-motif yang khas. Bakat warga di kampung ini mesti disinergikan oleh Pemda jika ada rencana sentra tenun di Manggarai.
Keempat, Terdapat sumber mata air yang belum di kelola dengan baik. Kalau untuk warga Poa sendiri cukup untuk air bersih akan tetapi bermasalah untuk warga Lempis yang juga mengandalkan air yang sumbernya sama yakni di War Pau. Hal ini bukan soal berkurangnya air tapi tidak ada perhatian bagi jalur pipa ke kampung Lempis.
Kelima, Soal air di desa Langkas yang paling langkah dan kesusahan adalah warga kampung Langkas. Hingga saat ini mereka masih kesusahan dan cukup sulit dengan swadaya sendiri. Mereka harus berjalan cukup jauh dari kampung untuk mendapatkan air yakni di Wae Tisek.
Keenam, Sebagian besar mata pencaharian warga kampung Poa adalah petani dengan komoditi terbesar di sini adalah kemiri dan kopi. Dulu daerah ini pernah menjadi salah satu pusat komoditi “kacang hijau”. Akan tetapi tidak bertahan diiringi dengan jatuhnya harga “kacang hijau”.
Ketujuh, Di sini juga penghasil tuak atau aren terbaik. Hampir setiap petani di sini kerja sampingannya adalah meramu aren. Dengan bahan baku aren ini bisa diolah menjadi minuman yang berkelas.
Kedelapan, Gua Maria, di Kampung Poa terdapat Gua Maria yang berada di Gua Liang Rangkeng. Tempat ini bisa menjadi tujuan para peziarah. Keunikan batu Rangkeng bisa dipoles menjadi tujuan menarik bagi para peziarah.
Denyut Nadi
Kehadiran H2N di Kampung Poa kemarin bagi kami merupakan kesempatan untuk menyalurkan aspirasi. Ada begitu banyak yang mesti dibuat terhadap kampung ini. Beberapa catatan cinta di atas hanyalah segelintir kebutuhan warga Kampung Poa dan sekitarnya.
Ini juga sebagai seruan agar selanjutnya para pengampu kepentingan mesti sering turun ke kampung-kampung untuk merasakan denyut nadi setiap warga. Ada begitu banyak kebutuhan warga yang selama ini tidak diakomodir. Persoalannya yang mengalami rugi bukan hanya warga itu sendiri tapi juga pemimpin daerah.
Mengapa? Karena tanpa sentuhan langsung tersebut rencana pembangunan yang bertahap tidak terarah. Para pemipin daerah tidak memiliki petah pembangunan. Yang terjadi adalah sebuah eforia untuk membuat banyak proyek. Yang terpenting dilihat oleh rakyat meskipun meskipun dimana-mana mudah rusak, hancur dan pengerjaannya hanya asal-asalan.
Artinya semua itu dibangun ugal-ugalan tanpa memperhatikan denyut nadi masyarakat para empunya pembangunan sesungguhnya. Terus terang ketika denyut nadi warga diputus dan dilukai karena sewenang-wenangnya para pengampu pembangunan, yang terjadi adalah pembangunan yang tidak memiliki roh.
Apalagi bicara rencana-rencana pembangunan yang bertahap seperti dibuat negara-negara maju itu seperti pembangunan 5 tahun, sepuluh tahun, 50 tahun hingga 100 tahun. Semoga catatan ini menjadi bahan yang direnungkan oleh H2N saat terpilih menjadi bupati nantinya.
Tulisan Kolaborasi Para Putra Poa-Cibal