Refleksi Pendidikan Indonesia FSGI; Dari Potensi Kluster Baru Di Sekolah hingga Omnibus Law

Jakarta, POJOKREDAKSI.Com – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis refleksi pendidikan Indonesia sepanjang tahun 2020 pada masa pandemic covid 19. Ada sejumlah catatan kritis, mulai dari kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) atau dikenal dengan istilah Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) dan Assessment Nasional (AN) sebagai pengganti UN.

Selain itu Relaksasi Dana BOS di masa pandemi corona (Covid-19), Satuan Pendidikan Sebagai kluster baru Covid-19, hingga pasal 65 dalam UU Ciptakerja “Omnibus Law” terkait ijin pendidikan yang seharusnya hanya ditujukan untuk sekolah-sekolah papan atas berbayar mahal. Masing-masing catatan tersebut akan diuraikan satu persatu.

Pertama, Pasal Perijinan Pendidikan Pada UU Ciptakerja Harusnya Untuk Sekolah-sekolah Mahal yang orientasinya mencari keuntungan, bukan kepentingan sosial.

Keberadaan sektor pendidikan Pasal 65 Paragraf 12 Omnibus Law UU Cipta Kerja telah menimbulkan kontroversi dan polemik tentang Privatisasi, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan berbagai kalangan. tetapi kajian FSGI terhadap pasal demi pasal hingga penjelasan UU Cipta kerja menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

FSGI berpandangan bahwa sektor pendidikan yang dimaksud dalam Omnibus Law bukanlah sekolah umum melainkan lembaga kursus, diklat dan sekolah khusus yang dikelola lembaga profit maupun perseroan. Terkait sektor pendidikan yang berotrientasi profit ini memang harus diatur khusus dan berbeda dengan sekolah umum yang non-profit.

FSGI mendorong Pasal 65 paragraf 12 untuk di revisi agar tidak menjadi pasal multi tafsir, dan mendesak pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah untuk menjamin ekses kemudahan izin berusaha sektor pendidikan ini tidak disalah gunakan.

Jika tidak maka pasal ini berpotensi menyuburkan lembaga kursus, diklat, dan atau sekolah mahal yang berizin non-profit tetapi dikelola secara privat, elite dan komersial, inilah yang akan merugikan rakyat, pajak dan keuangan negara.

“Ijin ini seharusnya juga tidak diberlakukan untuk sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah swasta seperti sekolah-sekolah NU dan Muhamdiyah, yang bertujuan social dan kemanusiaan,” ujar Mansur, Wakil Sekjen FSGI.

Kedua, Kebijakan assessment Nasional (AN) Harus Diperjelas dan Disosialisasi Segera. Berangkat dari paradigma yang salah dimana Sistem pendidikan dipandang sebagai arena Pacuan kuda, Ujian Nasional yang sarat kelemahan yaitu terlalu padat lebih menguji konten daripada kompetensi. Banyak menguji hafalan/berpikir tingkat rendah yang tidak sejalan perkembangan teknologi yang sangat cepat, memerlukan perubahan berpikir tingkat tinggi di abad 21.

Maka Mulai tahun 2021, bahkan dipercepat tahun 2020 yang dalam Pandemi Covid-19, pemerintah menghentikan Ujian Nasional dan berencana mengganti UN dengan assessment Nasional dalam bentuk assessment kompetensi minimum.

Assessment kompetensi pengganti UN dirancang untuk memberi dorongan lebih kuat ke arah pembelajaran yang inovatif dan berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan sekadar hafalan melalui Literasi dan Numerasi.

Agar tidak kehilangan Momentum dalam rangka memanfaatkan Bonus Demografi untuk mencetak generasi emas di masa mendatang. Maka FSGI mendorong pemerintah untuk memulai melaksanakan assessment Nasional pada tahun 2021 yang telah dirancang untuk memantau dan mengevaluasi Sistem Pendidikan Nasional, menghasilkan pemetaan yang tepat dan dapat digunakan untuk peningkatan Sistem Pendidikan di tanah air Indonesia.

Baca Juga :  Dua Guru Papua Gugur Dibunuh KKB, Nadiem Makarim: Terima Kasih Atas Pengabdianmu

“FSGI mendorong ketentuan peraturan yang jelas terkait kebijakan AN dan secepatnya ketentuan tersebut disosialisasi ke sekolah-sekolah secara terstruktur dan massif,” ujar Slamet Maryanto, salah satu pengurus DPP FSGI.

Ketiga, Kebijakan BDR atau PJJ Masih Sarat Kendala, Kurikulum Darurat Harus Dimaksimalkan penggunaannya.

Pada prinsipnya pembelajaran Daring dan Luring selama Pandemi Covid-19 tahun 2020 yang di lakukan membuka sebuah kondisi perbedaan yang mencolok antara siswa miskin dan kaya. Terbukti ketika pembelajaran daring yang di lakukan terdapat beberapa temuan:

1.Studi kasus dari tiga puluh siswa dalam satu kelas hanya tiga sampai sepuluh orang yang merespon kegiatan pembelajaran daring melalui Google Classroom dan WA dengan alasan: Siswa sebagian besar tidak memiliki gawai handphone atau android kalaupun ada itu punya bapak, ibu atau kakaknya yang setiap saat tidak berada di rumahnya. Tidak memiliki kuota internet. Jaringan lelet karena letak geografis sebagian siswa pada khususnya Kabupaten Bima daerah 3 T akses internetnya sulit jangkauannya.

2.Tidak terbiasanya siswa berselancar dengan pembelajaran online/daring;

3. Beberapa kepala sekolah setiap satuan pendidikan belum maksimal mengeluarkan dana BOS untuk peruntukan penyiapan pelaksanaan PJJ baik secara daring dan luring. Sampai saat ini dari beberapa penuturan guru yang berada di kabupaten Bima masih menggunakan biaya pribadi baik guru maupun siswa menggunakan paket internet biaya pribadi otomatis berpengaruh pada proses pembelajaran daring;

4. Dalam satu minggu pembelajaran daring atau pemberian materi hanya satu dan dua kali dilakukan mengingat siswa tidak memiliki paket internet dan persoalan gawai handphone.

5.Siswa merasa terbebani dengan banyaknya tugas yang diberikan guru-gurunya. Melihat dari kondisi tersebut, FSGI melihat pembelajaran daring sangat tidak efektif di laksanakan selama pandemi ini. Solusi ke depan di tengah pandemi covid-19 para guru harus rela kembali mengunjungi siswa untuk memberikan modul dan lembar kerja siswa ke rumah-rumah terutama bagi siswa yang tidak memiliki gawai handphone atau android. Hal ini berlaku pada daerah- daerah yang letak geografis jauh dari jangkauan akses internet;

6. Turunnya minat dan motivasi belajar siswa dalam pelaksanaan PJJ akibat dari rasa bosan;

7. Bantuan paket internet bagi guru dan siswa sepenuhnya tidak didapat oleh sebagian siswa dan guru;

8. Sosialisasi pelaksanaan kurikulum darurat sepenuhnya belum terlaksana di tingkat satuan pendidikan;

9. Kurangnya koordinasi dan pengawasan ditingkat daerah dalam pelaksanaan PJJ walaupun banyak produk kebijakan dari Kemendikbud RI.
10. pelaksanaan PJJ mengakibatkan tingkat stres atau tekanan pada diri siswa sehingga peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh peserta didik kita di tahun 2020 terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

“Kalaupun ada kebijakan paket internet gratis yang dibagikan oleh Kemendikbud RI, FSGI mengapresiasi langkah tersebut namun fakta di lapangan tidak seluruhnya digunakan oleh siswa dan guru. Hal ini terkendala pada input data handphone siswa oleh operator sekolah ke dapodik karena setiap siswa tidak semuanya memiliki gawai,” kata Eka Ilham, Kepala Divisi Litbang FSGI yang juga Ketua Serikat guru Indonesia (SGI) Kabupaten Bima.

Baca Juga :  Kapolres Pimpin Langsung Pelepasan Bantuan Kemanusiaan Gunung Sinabung

Padahal, jutaan anak Indonesia saat ini terkurung di rumah, dan para orangtua cemas terhadap efek jangka panjang pada anak-anak akibat terisolasi di rumah, kehilangan hak bermain, kesempatan bersosialisasi dan terlalu lama beristirahat dari kegiatan akademik dan ekstrakurikuler di sekolah.

Data survey Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) fase 1 yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bekerjasama dengan Federasi Serikat Guru Indonesia pada April 2020 dan diikuti 1700 siswa, menunjukkan 76,7% responden siswa tidak senang belajar dari rumah.

PJJ adalah “hal baru” bagi anak, orangtua, ataupun sekolah. Ibaratnya, tidak ada satu pihak pun yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Survei KPAI dengan FSGI yang disebarkan melalui jaringan SGI diseluruh daerah Indonesia terkait PJJ fase pertama berjalan tidak efektif dan 77,8% responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah.

Adapun rinciannya: 37,1% siswa mengeluhkan waktu pengerjaan yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stres; 42% siswa kesulitan daring karena orangtua mereka tidak mampu membelikan kuota internet, dan 15,6% siswa mengalami kesulitan daring karena tidak memiliki peralatan daring, baik handphone, komputer PC, apalagi laptop.

Orangtua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring, karena harus mengingatkan berbagai tugas belajar, mana yang sudah dikerjakan dan mana yang belum. Itu pun berlaku bagi orangtua yang menjadi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa menggantikan peran guru di sekolah selama Pandemi Covid-19. Orangtua juga harus mengirim tugas-tugas anaknya kepada gurunya dalam bentuk foto dan video.

“Terbayang beratnya jika orangtua memiliki anak lebih dari satu yang bersekolah, termasuk beratnya kuota internet yang harus ditanggung orang tua,” pungkas Eka Ilham.

Keempat, Hibah Merek Merdeka Belajar Belum Jelas, Perlu dikuatkan sesuai Peraturan Perundangan Yang Berlaku

Hibah Merdeka Belajar yang diserahkan PT Sekolah Cikal sebagai pemilik Merek Merdeka Belajar kepada Kemendikbud Republik Indonesia pada Jumat 14 Agustus 2020 belum jelas, karena hanya dituangkan dalam surat kesepakatan penyerahan dan penggunaan bersama merek merdeka belajar antara Direktur PT Sekolah Cikal, Najelaa Shihab dengan Menteri Pendidikan dan kebudayaan RI, Nadiem Makarim. Hal ini belum sesuai dengan ketentuan Hibah yang diatur oleh UU Merek Dagang itu sendiri.

FSGI menghargai niat baik penyerahan tersebut. Namun niat yang baik juga harus dilakukan dengan ketulusan dan cara yang benar yaitu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

“Penyerahan hibah secara hukum berarti ber-acara. Oleh karena itu harus ada Akta Hibah, Pengalihan Hak ke Hibah harus didaftarkan secara resmi, harus diumumkan, ada saksi dari negara (dalam hal ini Kemenkumham RI ), ada Notaris yang mewakili negara dan wajib dicatatkan,” ungkap Heru Purnomo, Sekjen FSGI.

Baca Juga :  Terkait Dugaan Korupsi Dana Karang Taruna Desa Medang, Ketum APDESU Angkat Bicara..!!

Kelima, Belajar Dari Pondok Pesantren Yang Jadi Kluster Baru, Pemerintah Daerah Wajib Cermat Dalam Buka Sekolah Tatap Muka

Hasil pemantauan FSGI pada bulan September 2020 menunjukkan jumlah santri yang positif covid-19 mencapai ribuan, angka tepatnya 1449. Sedangkan pada bulan Oktober 2020 tercatat 700 santri positif covid-19 dan pada bulan November 2020 mencapai 940 santri.

Ada ponpes di kabupaten Banyumas angka kasus santri positif mencapai 328 orang, bahkan Ponpes di kabupaten Banyuwangi kasus santri positif Covid-19 paling banyak, yaitu mencapai 622 santri. Dari jumlah tersebut, selain santri sudah termasuk pengelola, pegawai dan pimpinan pondok pesantren, hanya jumlahnya 99% didominasi santri.

Total dari data yang dikumpulkan FSGI mencapai 3.089 kasus Covid-19 hanya dari kluster pondok pesantren. Adapun wilayah pantauan kluster pondok pesantren meliputi 6 (enam) provinsi dan 18 kabupaten atau kota, meliputi: Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Barat di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), dan Kepulauan Riau di Kabupaten Bintan.

Belajar dari tingginya kasus Covid-19 di Pondok Pesantren, maka FSGI mengingatkan pemerintah daerah harus hati-hati dalam membuka sekolah tatap muka, perlu kehati-hatian dan penyiapan sungguh-sunggu.

“Kalau Daerah dan sekolah belum siap, tunda buka sekolah pada Januari 2021, terlebih di wilayah-wilayah yang baru selesai menggelar Pilkada pada 9 Desember 2020 lalu. Perlu data kasus di wilayah tersebut, apalagi pasca liburan akhir tahun,” ujar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI yang juga guru di Sumatera Utara.

Keenam, Relaksasi Dana BOS untuk Penyiapan Buka Sekolah Sulit, Perlu anggaran selain Dana BOS untuk penyiapan PTM

Penyiapan buka sekolah tatap muka membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, perlu menyiapkan infrastruktur dan protokol kesehatan atau SOP adaptasi kebiasaan baru (AKB) di satuan pendidikan. Oleh karena itu, jika mengandalkan dana BOS yang direlaksasi tidak akan mencukupi, karena dana BOS selama ini dibutuhkan untuk pembiayaan 8 standar nasional pendidikan (SNP).

“FSGI mendorong perlu ada kebijakan anggaran baru di pendidikan untuk penyiapan buka sekolah tatap muka di masa pandemic, yaitu melalui anggaran lain di luar dana BOS. DPR RI dan DPRD perlu memikirkan ini dalam politik anggaran tahun 2021, demi melindungi warga sekolah dan mencegah sekolah menjadi kluster baru. Jika tidak, maka potensi sekolah menjadi kluster baru sangat besar”, ujar Fahmi Hatib, Presidium FSGI yang juga wakil kepala sekolah di kabupaten Bima.

Selain itu, Fahmi juga berharap dengan adanya kebebasan kepada kepala sekolah dalam penggunaan dana BOS harus didukung dengan peraturan yang jelas. “Pemerintah harus membuat payung hukum agar Kepala Sekolah tidak ragu dalam belanja alat dan prasarana tatap muka, tentunya harus ada pengawasan yang ketat dari pihak terkait, “pungkasnya

Willy Matrona

POJOKREDAKSI.COM

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *