Jakarta, POJOKREDAKSI.COM – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam perkara pidana kerumunan di Petamburan dan Megamendung atas nama terdakwa Muhammad Rizieq Shihab (MRS) dan 5 (lima) eks. Pimpinan FPI, telah membatalkan acara persidangan secara online dan mengabulkan permintaan terdakwa MRS untuk persidangan secara offline.
Perubahan sikap Majelis Hakim yaitu mengabulkan sidang secara offline, diyakini sebagai buah dari tekanan massa simpatisan MRS, Tim Penasehat Hukum dan terdakwa MRS, padahal Majelis Hakim seharusnya patut menduga bahwa jika MRS diizinkan sidang secara Offline, maka kerumunan massa simpatisan MRS akan semakin besar, sulit dibendung yang pada gilirannya melanggar Protokol Covid-19.
Sikap inkonsisten dan mudah goyah dari Ketua Majelis Hakim, patut dipertanyakan apakah karena bersimpati atau menjadi simpatisan terdakwa MRS, atau akibat tekanan dan pengaruh kekuatan lain di luar sidang, inilah yang harus dijawab, agar perubahan acara persidangan secara Offline, tidak menimbulkan masalah hukum yaitu melanggar kewajiban Hakim menjaga kemandirian Peradilan.
Hakim Lalai Jaga Kemandirian
Mengubah acara persidangan menjadi Offline, merupakan penyalahgunaan wewenang, karena sidang secara online diatur oleh Perma (Peraturan Mahkamah Agung) dan oleh UU, sehingga merubah Tata Cara sidang menjadi Offline, itu Perbuatan Melanggar Hukum, karena Perma itu bagian dari upaya menjaga Kemandirian Peradilan dan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, agar tidak ada kekuatan dari luar yang mempengaruhi Hakim.
Karena itu ketika Hakim Ketua dengan mudah dan cepat berubah sikap, maka pertanyannya apakah Hakim Ketua hanya sekedar bersimpati kepada MRS atau Hakim Ketua merupakan simpatisan yang berkepentingan dengan aktivitas dan nilai yang diperjuangkan oleh MRS atau semata mata karena Hakim Ketua dipengaruhi oleh tekanan masa, setelah pada sidang-sidang sebelumnya dibentak dan dilecehkan oleh Penasehat Hukum dan terdakwa MRS.
Jika persoalannya terletak pada Hakim bersimpati atau menjadi simpatisan MRS dan berkepentingan dengan nilai yang diperjuangkan oleh MRS, atau karena campur tangan pihak lain diluar kekuasaan Kehakiman, sehingga Hakim kehilangan kemandiriannya, maka Majelis Hakim MRS harus mengundurkan diri dan diganti dengan Hakim lain yang lebih netral dan mampu menjaga kemandirian Peradilan.
Publik harus paham bahwa persidangan secara Elektronik itu dilakukan demi mematuhi prinsip “Salus Populi Suprema Lex Esto” (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi) dan oleh Ketentuan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya tentang Protokol Kesehatan Covid-19 yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2020, Tentang Administrasi Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.
Kebebasan Hakim Tergadaikan
UU Kekuasaan Kehakiman, secara tegas menyatakan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”; dan
“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis), karena itu segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang dan bagi yang melanggar dipidana”.
Faktanya dalam persidangan kasus Terdakwa MRS, Majelis Hakim, pada awal persidangan, secara konsisten telah menerapkan sistem persidangan secara online guna memenuhi prinsip Solus Populi Suprema Lex Esto dan ketentuan peraturan Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2020 dan Protokol Kesehatan Covid-19, yang sudah berjalan hampir 1 tahun lamanya.
Kenyataannya, Majelis Hakim sudah menggadaikan Kemandirian Peradilan dan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka hanya dengan sebuah Surat Pernyataan Jaminan dari Penasihat Hukum terdakwa, yaitu jaminan tidak akan ada kerumunan massa pada sidang-sidang berikutnya, tanpa mempertimbangkan apakah Surat Jaminan itu riil atau semu yang menjamin massa tidak datang ke persidangan nanti.
Petrus Selestinus
(KETUA TIM TASK FORCE FORUM ADVOKAT PENGAWAL PANCASILA/FAPP & ADVOKAT PERADI)