Jakarta, POJOKREDAKSI.COM – Kejahatan seksual khususnya terhadap perempuan dan anak-anak merupakan isu nasional yang hangat diperbincangkan. Sehubungan dengan maraknya kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia. Pemuda Katolik Komisariat Cabang (Komcab) Jakarta Pusat mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Sebagai bentuk dukungan dan keterlibatan, Pemuda Katolik Komcab Jakarta Pusat menggelar webinar dengan tema Segera! Sah kan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual), Sabtu (29/01/2022).
Dalam sambutan pembukan webinar, Yulius Wahyu sebagai Ketua Pemuda Katolik Komcab Jakarta Pusat mengatakan bahwa isu RUU TPKS ini sangat penting dan berkaitan juga dengan bentuk semangat tahun Sinode.
“Kita diajak untuk berjalan bersama menjadi berkat bagi mereka yang menderita dan tidak mendapatkan keadilan,” terang Wahyu.
Selanjutnya, ia menambahkan bahwa tema webinar hari ini dipilih karena pada tahun 2022, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) telah menetapkan sebagai tahun martabat manusia, yang mana RUU TPKS sangat beririsan dengan semangat dari penetapan Ardas KAJ tersebut.
“RUU TPKS sangat beririsan dengan semangat Tahun Martabat Manusia, karena itu penting bagi kita untuk ikut bersuara dan bersikap terkait dengan RUU TPKS ini”, ujar Wahyu.
Robertus Bondan Wicaksono, Ketua Komisariat Daerah (Komda) DKI Jakarta dalam sambutannya menambahkan bahwa yang paling penting adalah mengadvokasi baik dalam lingkup isu maupun grassroot bersama dengan kelompok masyarakat yang juga sedang mengupayakan RUU TPKS ini disahkan menjadi UU TPKS.
“Kita perlu mengadvokasi persoalan-persoalan sosial masyarakat terutama dalam upaya mengesahkan RUU TPKS untuk mencegah terjadinya kekerasan”, imbuh Bondan.
Pada sesi materi, Dr (Cand) R. Valentina Sagala, S.E., S.H., M.H., memaparkan terkait latar belakang sejarah RUU TPKS, yang mana sebelum nama RUU TPKS adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
RUU PKS ini masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2016 yang merupakan usulan/inisiatif dari Komisi 8 DPR RI.
Dalam pemaparannya dia juga mengkritisi terkait penggunaan kata darurat seksual yang kurang tepat dan beredar dalam bentuk-bentuk campaign di media massa. Menurutnya apabila keadaan darurat, seharusnya Pemerintah membentuk suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), bukan membentuk suatu Undang-Undang.
Selain itu, ia juga menggambarkan bahwa bagaimana konsepsi politik hukum di negara-negara maju berkaitan dengan statutory rape yang mana semua orang dewasa yang sudah di atas 18 tahun tidak diperbolehkan untuk melakukan hubungan seksual dengan seseorang berusia di bawah usia 18 tahun dikarenakan terdapat ketentuan pidana. Sehingga dengan demikian dapat mendukung perlindungan akan kekerasan seksual terhadap anak.
Ia mendorong orang muda katolik, khususnya Pemuda Katolik, untuk ikut aktif mengawal dan memberikan masukan terkait dengan RUU TPKS ini.
Kiranya pemerintah dapat segera diundangkan dengan aturan yang sesuai dengan harapan rakyat Indonesia yaitu memberikan perlindungan pada korban dan kepastian hukum terhadap masalah tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi.
Selain itu Valentina yang juga adalah pendiri Institute Perempuan, memberikan saran untuk memanfaatkan media online dalam meminta komitmen dari DPR RI agar serius memperjuangkan hak-hak para korban terhadap TPKS.
“Satu sms atau whatsapp, maupun status di sosial media, yang diterima oleh para pembuat kebijakan, dapat mempengaruhi bahkan mengubah sebuah keputusan.” ujarnya.
Narasumber kedua, Stella Anjani, yang merupakan kader Pemuda Katolik Jakarta Pusat menyampaikan bahwa terdapat 5 poin yang dapat dilakukan untuk menjaga martabat manusia yaitu, pertama adalah humility; Kalau kita melihat dari ajaran gereja Katolik, humility merupakan dasar spiritualitas kristiani yang utama, yang membuat kita bisa berada di jalan yang benar. kedua righteousness (kebenaran) yaitu belajar dari sumber yang benar. ketiga self yaitu memulai dari diri sendiri dan bertanya apa yang bisa dilakukan, keempat yaitu memulai percakapan dengan orang terdekat, dan kelima adalah mempengaruhi lingkungan terkecil di sekitar baik rumah, kantor, sekolah, kampus, RT, dan komunitas”, tegas Stella.
Stella, sapaan akrabnya menambahkan, kekerasan seksual sebenarnya adalah salah satu puncak dari pelecehan seksual, dimana sebenarnya candaan seksis justru penyumbang terbesar dalam piramida kekerasan seksual terhadap perempuan.
“Untuk itu perlu kiranya dibuat protokol pencegahan kekerasan seksual baik di organisasi maupun di gereja, sebagai bentuk dukungan terhadap perlindungan terhadap perempuan dan anak”, tutup Stella.
Di akhir sesi webinar, Para anggota Pemuda Katolik Komcab Jakarta Pusat menyampaikan pernyataan sikap untuk mendesak legislatif dalam mengesahkan RUU TPKS yakni:
1. Mengecam dan mengutuk keras segala bentuk kejahatan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia;
2. Mengapresiasi sikap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang telah menjadikan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI);
3. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia, khususnya para penegak hukum agar dalam penanganan kasus kekerasan seksual tetap mengedepankan rasa keadilan, menjaga martabat dan berperikemanusiaan;
4. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia segera mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS);
5. Mendukung sepenuhnya para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan perlindungan hukum dan pemulihan terhadap akibat yang dialami;
6. Mendukung dan siap terlibat memperjuangkan dan mengawal pengesahan Rancangan UndangUndang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sampai menjadi Undang-Undang yang berlaku.
Laporan: Pengurus Pemuda Katolik Komcab Jakarta Pusat
Yulius Wahyu Tri Utomo (Ketua) Paulina Citra (Sekretaris)