Air Mata Terakhir “Mama” Papua

Tinus Wuarmanuk/Dok. Pribadi
Bogor, POJOKREFAKSI.COM-Papua, surga yang jatuh di Indonesia. Dalam beberapa narasi historis, Papua diidentikan dengan seorang mama. Ada sekian banyak anak yang lahir dari rahimnya. Anak-anaknya memiliki ciri-ciri khas. Hitam, keriting, ciri fisik yang paling kental.

Di Papua, semua orang bisa hidup dan berinteraksi. Bak taman Eden. Di taman itu, sejuta suku, bahasa, adat dan budaya tercerna menjadi satu.

Setiap anak memiliki namanya masing-masing. Ada Merauke, Jayapura, Agats-Asmat, Timika, dan sebagainya. Perbedaan itu disatukan dalam satu istilah sobat. Di Papua semua orang adalah sobat, sahabat, kawan yang saling memahami.

Menahan Derita

Mengamati peta Papua, didorong sedikit fantasi, kita lalu melihat bahwa bentuk pulau itu seperti kangguru raksasa yang sedang meloncat. Mata binatang terletak di Manokwari, sedangkan ekornya terletak di Samarai, pojok paling timur.

Papua dibagi menjadi dua dataran besar yaitu Utara dan Selatan. Antara keduanya terdapat daratan dan pegunungan. Di barat ada Gunung Charles Louis yang dikenal menggelombang. Ada Puncak Chartenz yang yang tertutup salju abadi. Menurun sampai ke lembah Baliem, naik lagi ke Pegunungan Bintang, terjun lewat Pegunungan Tengah,naik ke Pegunungan Bismarck lalu sampai ke ujung timur.

Dataran Utara seakan dipeluk seekor gurita raksasa bernama Sungai Sepik dan Membramu, dengan puluhan anak sungainya. Sungai-sungai besar dan angker seperti Sungai Fly, Digul, Mapi, Bengawan Pulau-pulau. Papua sungguh pulau yang menakjubkan. Lebih menakjubkan lagi masyarakatnya.

Membayangkan seorang mama “melahirkan” lembah, sungai dan puncak di Papua. Tercabik-cabik. Menahan derita dan kesakitan.

Baca Juga :  Panggilan Memperbaiki Hubungan Kita yang Sederhana

Banyak orang kini mengais makan di Papua. Kerapkali hidup memaksa, timbul perpecahan. Pendatang lupa daratan, orang lokal menuntut gengsi. Orang asli Papua terus berteriak minta tolong. Gonggongan itu tak lain untuk diperhatikan. Mereka menuntut keadilan. Bila pemerintah mengabaikan, timbul persoalan.

Pelanggaran HAM
Kini Otsus hadir di Papua. Kehadiran Otsus membuat banyak orang “angkat topi”, tapi dalam perjalanan dirasa bagai neraka. Akhirnya daerah Papua menjadi daerah militer. Hidup masyarakat Papua di Eden selalu diperhadapkan pada kekuatan militer. Otsus melahirkan pemekaran demi pemekaran. Memberi kesan hebat, meninggalkan luka bagi masyarakat lokal. Dengan sendirinya negara seperti membuka lahan kosong bagi militer.

Mengikuti ragam persoalan itu, lahirlah ragam kejahatan dan pelanggaran HAM. Sebut saja, ada kekerasan dan pelanggaran HAM di Paniai. Kisah tragis pembunuhan manusia Mee yang disinyalir dilakukan oleh militer Desember 2014. TNI Polri menewaskan empat orang yaitu Yulianus Yeimo, Apinus Gobai, Simon Degel,dan Alpius You (SKPKC, Cepos, Jayapura, 26 Desember 2014).

Kekerasan kemanusiaan di Dogiyai. Tindakan militerisme dengan penganiayaan hingga pembunuhan pada tanggal 13 April 2011. Saat itu dua orang tewas Domin Auwe dan Alwisius Waine. Belum lagi yang terluka karena kena tembakan.

Berikut kekerasan kemanusiaan di Tolikara. Tindakan ini menewaskan dua orang setempat. Arianto Kogoya dan Jumbo Wanimbo tewas dengan dada tertembus timah panas Militer.

Ada juga kekerasan di Timika pada 28 Agustus 2015. Kekerasan ini berujung dengan kematian Yulianus Okoware dan Imanuel Marimau (SKP Keuskupan Timika).

Melihat data ini ada satu kekhawatiran saat ini. Ada semacam karakter baru yang tumbuh di Papua. Kekerasan, pembantaian, dan pembunuhan yang terjadi tetapi orang tidak tahu siapa pelakunya. Masalah ini hanya sampai pada pemerintah, setelahnya adem aja. Mama Papua terus berteriak tapi anak-anaknya tak mengabaikan. Lukanya terus menganga, diselimut sakit hati yang mendera.

Baca Juga :  Milianus Aso Titipkan Lima Pesan untuk Pemuda Katolik dalam Raker Pemuda Katolik Komcab Mimika

Kini, mama Papua terus menderita. Mungkin mereka cuek karena masih ada sirih pinang di noken sebagai tanda perdamaian. Tapi percayalah jika sirih pinang perdamaian habis, hanya ada tombak, busur, dan anak panah. Mereka akan turun gunung, melewati lembah, menyebrangi sungai, meski dengan koteka dan rambuhai untuk mengatakan kami Papua.

Suatu ketika air mata mama Papua akan mengalir. Di saat itu kita akan bergumam, Papua betul surga yang jatuh di dunia. “Buah terlarang” yang ditanam di tengah Eden Papua, kini diperebutkan banyak orang. Aneh buah keberdosaan di perebutkan, sementara madu dan gula berlimpah ruah di negeri lain.

Oh Papua nasibmu bak ibunda Malingkundang yang dilupakan anak-anaknya.

Tinus Wuarmanuk

POJOKREDAKSI.COM

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *